- Latar Belakang
Masalah epistemologi
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana
apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada
akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan
batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004 Dalam
pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat.
Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi
adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi
objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas
tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem
ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi,
kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu
yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).
Demikian
juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan;
ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu
terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara
detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari
ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir
sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan
antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa
sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab
ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme
pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita renungkan bahwa meskipun
terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara berpikir, maka
objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh pengetahuan apapun.
Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara juga adam tetapi
tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan
itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan
interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun
demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita
sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk
mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup
signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah
aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding
ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk
diseputar epistemologi, mulai dari pengertian, ruang lingkup, objek,
tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi
- Pengertian Epistemologi
Secara
historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier,
untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai
sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan
atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi
ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang
yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian
yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi
persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan.
Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian
(definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung
dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan
konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan
persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami
substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia
baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar,
prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan
belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep
merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas
dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian
pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk
yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi
yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa
sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui
sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah
validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan
a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003,
hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ?
apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel
Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa
Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman
dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan
hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama
menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua
tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat
pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang
hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan
ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan
idealisme.
Selanjutnya,
pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian
tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan
validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur,
metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari
kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit
perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian
ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
- Ruang Lingkup Epistemologi
Bertolak
dari pengertian-pengertian epistemologi tersebut, kiranya
kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya atau ruang lingkupnya.
Sebenarnya masing-masing definisi diatas telah memberi pemahaman tentang ruang
lingkup epistemologi sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya
didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemologi
daripada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada
baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang
lingkup epistemologi, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu
pemahaman secara makin komprehensif dan utuh (holistik) mengenai ruang lingkup
pemabahasan epistemologi.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Jadi
meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi
cakupannya luas sekali. Jika kita memaduakan rincian aspek-aspek epistemologi,
sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi,
hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur, macam, tumpuan,
batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope
pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibaan
orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya
merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan
yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi
mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik
kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha
menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk
menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu. Filsafat merupakan refleksi,
dan refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seserorang memiliki
suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari
metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemologi dari
psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemologi dari sains. Epistemologi
senantiasa “mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi
itu dicoba untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi
selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya,
ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi
oleh epistemologi.
Dalam
pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu
yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa
seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada
aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain
yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Semestinya harus ada
pergeseran pusat perhatian pembahasan ke arah aspek-aspek yang terabaikan itu,
agar dapat menyajikan pembahasan terhadap aspek-aspek epistemologi
seluruhnya secara proporsional. Lebih dari itu, perubahan kecenderungan
pembahasan tersebut dapat memperkenalkan pengetahuan yang makin luas dan
mendalam tentang cakupan epistemologi.
Kenyataannya,
saat ini literatur-literatur filsafat masih terjadi pemusatan perhatian pada
aspek-aspek tertentu saja. Aspek-aspek itu berkisar pada sumber pengetahuan,
dan pembentukan pengetahuan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi
lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi
banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara
itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi,
atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan
sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi
itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi
sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode
pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil
pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak
positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah
satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya
jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas.
Namun,
penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman
seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat,
khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan
menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi
makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi
dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait
langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
- Objek dan Tujuan Epistemologi
Dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan
tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati
secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama
dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,
tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah
yang mengantarkan tercapainya tujuan. Dengan kata lain, tujuan baru dapat
diperoleh, jika telah melalui objek lebih dulu. Misalnya, seorang polisi
bertujuan membunuh perampok yang melakukan perlawanan, ketika akan ditangkap
dengan menambak kepalanya sebagai sasaran. Jadi, tujuannya adalah pembunuhan,
sedangkan objeknya adalah kepalanya. Oleh karena itu, pembunuhan sebagai tujuan
polisi baru mungkin tercapai setelah melalui tindakan menembak kepala perampok
sebagai sasaran, tetapi terjadinya pembunuhan tidak hanya melalui menembak
kepala perampok, bisa juga dadanya atau perutnya. Ini berarti dalam satu tujuan
bisa dicapai melalui objek yang berbeda-beda atau lebih dari satu.
Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini, justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.
Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
Sebaliknya, mungkinkan suatu kegiatan hanya memiliki objek satu tetapi tujuannya banyak. Ternyata ini juga mungkin terjadi bahkan sering terjadi. Manusia misalnya, sejak lama ia menjadi objek penelitian dan pengamatan yang memiliki tujuan bermacam-macam, baik untuk membangun psikologi, sosiologi, pedagogi, ekonomi, antropologi, bilogi, ilmu hukum dan sebagainya, meskipun secara spesifik tekanan perhatian dalam meneliti dan mengamati itu berbeda-beda. Dewasa ini, justru kecenderungan ini mulai memperoleh perhatian yang sangat besar di kalangan para pemikir, perekayasa, dan juga pengusaha. Artinya, ada upaya bagaimana menjadikan bahan yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Kecenderungan ini justru memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi dan bersifat dinamis, mendorong kreativitas seseorang.
Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.
Dalam
filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah
sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam
dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan
secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material
filsafat (sarwa-yang-ada).
Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu
tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu
sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka
sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain
mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab
pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan
untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Rumusan
tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam
dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa
jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai
dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan
melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya
berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada
proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui
hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui
prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama
dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa
yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu
akan mengejar bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka
guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan
mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan
perkalian angka-angka lainnya.
Proses
menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap
pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa
diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam
gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata,
karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan
segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada
didalamnya. Dengan demikina, seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas
informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui
proses itu.
Penguasaan
terhadap proses tersebut berfungsi mengetahui dan memahami pemikiran seseorang
secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasa, konsep dan teorinya,
sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja, tanpa ada alasan-alasan
yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling
menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum pernah melacak proses
terjadinya pemikiran itu. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatar belakangi, maupun
motif-motif yang mendasarinya. Ketika faktor, alasan dan motif ini belum
dikenali, maka acapkali seseorang tidak akan bisa memahami pemikiran orang
lain. Sebaliknya, jika seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor,
alasan dan motif tersebut, maka dia akan mampu mengenali pemikiran orang lain
dengan baik, sehingga dia dapat memakluminya. Faktor, alasan dan motif itu
maupun komponen yang lain sesungguhnya termasuk dalam mata rantai proses sebuah
pemikiran.
- Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi
memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan
tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan
yang kokoh. Bangunan pengetahuan bagaikan bangunan rumah, sedangkan landasan
bagaikan fundamennya. Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan
kekuatan fundamennya. Demikian juga dengan epistemologi, akan
dipengaruhi atau tergantung landasannya.
Di dalam
filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum
dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak
tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting
dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Begitu
pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat
kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya,
seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya
berkembang menjadi: sains adalah metode. Sikap ini mencerminkan bahwa mereka
berlebihan dalam menilai begitu tinggi terhadap metode ilmiah, tanpa menyadari
semuanya yang hanya sekedar salah satu sarana dari sains untuk mengukuhkan
objektivitas dalam memahami sesuatu. Sesungguhnya sikap berlebihan itu memang
riil, tetapi terlepas dari sikap tersebut yang seharusnya tidak perlu terjadi,
yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam
menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu. Disini perlu dibedakan
antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu). Pengetahuan adalah pengalaman
atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul
sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan empiris.
Dengan
istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan
pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan
istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya
sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa
disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian
lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering
disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah,
sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan
perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari
dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode
ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada
metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur
kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi
tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk
wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif
- Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodelogi
Selanjutnya
perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi
untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi.
Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering
dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi.
Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya
perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan
ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”.
Lebih jauh
lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan
metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode
tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu
tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui
sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka
metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut.
Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode.
Metodologi
membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam
karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan
metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam
penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya
mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak
peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia
mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus
benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma
positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham
determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian
kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian,
metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan
penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut
terdapat dalam wilayah epistemologi.
Oleh karena
itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi,
metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan
dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.
Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi,
epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah
akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi,
sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi.
Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat.
Posisi
masing-masing istilah ini, seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran
kecil, dan dalam lingkaran kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil
lagi. Lingkaran besar disini diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa epistemologi,
dan lingkaran yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa
filsafat mencakup bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak
hanya epistemologi karena masih ada bahasan lain, yaitu ontologi dan
aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode
(metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode semata-mata,
karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur, validitas, unsur,
macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi
perlu dibedakan adanya metode pengetahuan dan metode penelitian, kendatipun
tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan berada dalam dataran
filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada dalam dataran teknis.
Dalam
filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi.
Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi
kajian utama cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem
metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat
dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian berbicara
tentang metodologi yang berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode
yang digunakan oleh manusia untuk mencapai pengetahuan tentang realita atau
kebenaran, baik dalam aspek parsial atau total. Lebih jelas lagi, bahwa
seseorang yang sedang mempertimbangkan penggunaan dan penerapan metode untuk
memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi, mengingat
pembahasan tentang seluk-beluk metode itu ada pada metodologi. Metodologi
inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap
metode.
- Hakikat Epistemologi
Pembahasan
tentang hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena ita tidak bisa menangkapnya,
kecuali ciri-cirinya. Apalagi hakikat epistemologi, tentu lebih sulit
lagi. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan,
membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya
dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita
mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah
ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim
lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan
filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi
itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind.
Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi
yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian
akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi
keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan
pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan
disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan
pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh
penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti
tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak
sekali.
Oleh karena
itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya
tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi
ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi
terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya.
Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis
dan analitis.
Perbedaaan
padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan
pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai,
epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi
merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan
metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan
darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar
pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi
takaran minat kita.
Luasnya
jangkauan epistemologi ini menyebabkan objek pembahasannya sangat detail
dan pelik. Metodologi misalnya telah digabungan secara teliti dengan epistemologi
dan logika. Sementara itu, logika itu sendiri patut dipertanyakan, apakah
logika itu bagian dari epistemologi, diluar epistemologi sama
sekali, atau sekedar memiliki persentuhan yang erat dengan epistemologi.
Ada yang menyatakan, bahwa posisi logika berada diluar ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Di samping itu, epistemologi tersebut sebenarnya tidak
bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas dari ontologi dan aksiologi. Menurut,
Jujun S. Suriasumatri, bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dalam
pemahaman yang sederhana epistemologi memiliki interrelasi (saling
berhubungan dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi).
Selanjutnya,
epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral
setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang
mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin
diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik
tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi
dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap
objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan
manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih
besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui.
Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa
diketahui.
Epistemologi ini juga
bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa
condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum
menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk
ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif.
Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih
jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang
dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang,
yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi
terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas
dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi
terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia,
karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan
jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian
lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan
gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua
cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan
kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi
adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan
kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi
berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir
empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan
deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua
macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.Jika metode ilmiah sebagai
hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi
terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang
sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau
deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi
itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi.
Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu
memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan
secara berkesinambungan dan serius.
- Pengaruh Epistemologi
Bagi Karl R.
Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya.
Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu
pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus
berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu
ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran
ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan
lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah
yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan
dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam
menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat
memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses
ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan
mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi
bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu
pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau
teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang
kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan
pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi,
terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam
melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain
maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya
sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh
hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa
mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal)
dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi
senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan
memperkuat penguasaannya.
Dinamika
pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik
yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa
keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan
epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman
pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman
pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang
ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang
berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran
itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada
perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak
dari epistemologinya
Secara
global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu
sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan
koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil
pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan
sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung
oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa
yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi
tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi
modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan
alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai
penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai
akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan
dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah
hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan
yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat
apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada
awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja
mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari
proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai
berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan
percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu
pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan
tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science
(teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam
mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi.
Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah
maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin,
melainkan mutlak perlu dikuasai.
suparmanhttp://www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@blogger.com