Jumat, 18 Januari 2013

MANAJEMEN KONFLIK DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Menyadari kondisi saat ini, rasanya kita tidak percaya negara Indonesia yang begitu luas, namun masih tertinggal dalam pengelolaan kawasan pesisirnya. Kawasan pesisir di Indonesia masih “dilabelkan” sebagai masyarakat miskin yang marginal, memiliki karakter yang keras dan cendrung terlibat konflik dalam penyelesaian berbagai masalah serta rumitnya menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu pengembangan wilayah pesisir di Indonesia seyogianya dapat mengelola sejumlah konflik yang akan muncul dan menjadikan konflik “fungsional” sebagai faktor pendukung dalam pembangunan. 

Mengulang romantisme dari anak bangsa yang dahulunya bersahabat dengan laut digambarkan lewat lagu “Nenek moyangku seorang pelaut” karena para leluhur bangsa tinggal dan menetap di wilayah pesisir dengan menjadikan laut sebagai sumber kehidupan. Nyiur melambai terpaan angin laut dan ikan yang berlimpah, memiliki sejumlah pelaut yang tangguh walaupun hanya mengunakan sejumlah perahu tradisional, tangkas mengarungi samudera demi kelangsungan kehidupan. Namun berita hari ini, masyarakat nelayan di pesisir pantai sudah tidak lagi diberkahi oleh hasil kekayaan lautnya, sebagaimana dalam kutipan lagu Iwan Fals “tak biru lagi lautku”.

POTENSI KONFLIK TATA BATAS LAUT DI INDONESIA

Potensi kelautan di Indonesia telah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 7 % terhadap Gross Domestic Product (GDP) sejak tahun 1983 – 1986. Pada tahun 1980 hanya sebesar 12 % masyarakat yang memanfatkan laut sebagai sumber pendapatan sedangkan pada tahun 1990 aktivitas masyarakat meningkat menjadi 24 %. Hal ini menandakan besarnya potensinya pengembangan dikawasan pesisir sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga Indonesia. Karena kawasan pesisir cukup potensial untuk menopang perekonomian makro Indonesia maka pengelolaan kawasan pesisir betul – betul diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang saat ini tengah terancam oleh nelayan – nelayan asing dalam mengeksploitasi lautnya.

Sebut saja sector perikanan sebagai potensi ekonomi kawasan pesisir. Sumber daya perikanan terdiri dari sumber daya ikan, sumber daya lingkungan serta sumber daya buatan. Pengelolaan sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Makanya pengelolaan sumber daya ikan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya ikan dengan memaksimalkan potensi kawasan pesisir bagi berbagai kepentingan yang lebih besar. 
Program kawasan pesisir dapat berjalan apabila mampu meminimalkan segala konflik kepentingan (conflict interested). Konflik kepentingan ini bukan hanya melibatkan antar batas-batas kabupaten/kota akan tetapi juga antar batas Negara – Negara bertetangga. Oleh karenaya sangat penting sekali keterlibatan semua stakeholder mulai dari level bawah hingga level paling atas, disamping adanya kepastian hukum antar Negara dalam menanggulangi konflik kepentingan di kawasan pesisir, seperti Negara Indonesia dengan Malaysia, Timor timur, Australia.

POTENSI KONFLIK KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR

Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih dibawah kebutuhan minimalnya. Sangat ironis sekali dengan potensi yang begitu besar saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang memiliki taraf hidup tergolong rendah, tumbuh dan hidup dalam lingkaran antar konflik kepentingan antara patron dan klien.
Pengelolaan dan pengembangan potensi perikanan dan kelautan dikawasan pesisir ke depan harus berpihak kepada nelayan kecil yang hidup di sekitar pantai agar terjadi peningkatan pendapatan mereka. Optimalisasi dan keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan perlu ditekankan agar pengalaman buruk kerusakan sumber daya di daratan seperti sumber daya hutan tidak terulang lagi.

POTENSI KONFLIK DALAM BUDAYA INDONESIA

Indonesia memiliki banyak ragam bangsa dan rumit sehingga sangat potensial lahirnya konfik. Bangsa Indonesia Memiliki 656 Suku bangsa yang menyebar dari Sabang hingga Merauke. Berbagai Suku bangsa ini mendiami 30 ribu pulau dan kepulauan yang satu atau lainnya dipisahkan oleh lautan dan pegunungan. Belum lagi segi etnik, belum lagi agama dimana Negara “mengakui 5 agama resmi”. Keragaman tersebut hanya dibingkai dengan kata-kata ajaib “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi satu yang kini semakin berkurang daya lekatnya. Hal ini seiring dengan era otonomi daerah yang ditafsirkan dalam pengutan rasa etnis, suku, ras bahkan agama dalam arti sempit (primordial). Maka peningkatan jumlah rasio terjadinya konflik di masing-masing wilayah baik secara vertical ataupun horizontal juga akan dipicu oleh perbedaan budaya, etnis, suku dan agama dsb.

POTENSI KONFLIK PESISIR DAN KELAUTAN DI SUMATERA BARAT

Provinsi Sumatera Barat terletak di sisi barat pulau Sumatera, dengan luas wilayah 4,2 Juta Ha, jumlah penduduk 4,54 juta jiwa. Terdapat 12 Kabupaten, 7 Kota dan 120 Kecamatan, 1.766 desa dan 398 Kelurahan (BPS Sumatera Barat, 2005). Memiliki garis pantai sepanjang 1.133 Km (Syarief, 2005 dan Bappeda Kepulauan Mentawai, 2004) meliputi wilayah pantai di pulau Sumatera (375 Km) dan Kabupaten Kepulauan Mentawai (758 Km). Sumber daya pesisir dan laut di wilayah Sumatera Barat mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari data produksi ikan laut tahun 2003 sebesar 98.431 Ton meningkat menjadi 102.368 Tahun 2004. hal ini lebih disebabkan semakin diliriknya para oleh para investor dalam pengelolaan wilayah laut di Sumatera Barat (Bachtiar, 2005)
Pengelolaan kawasan pesisir secara top down telah menimbulkan sejumlah konflik terbuka dibeberapa wilayah ataupun konflik latent yang siap meledak kalau tersentuh pemicunya (Walhi Sumbar, 2000). Munculnya konflik dalam pengelolaan kawasan pesisir juga di sebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap keberhasilan program ”apabila” dilaksanakan oleh pemerintah. Kita tidak bisa menutup mata adanya gejolak, pandangan sinisme atau kecemasan tertentu bagi masyarakat penerima program yang selama ini masyarakat pesisir dianggap marginal. 

Potensi konflik dalam pengelolaan kawasan pesisir di Sumatera Barat, akan lebih banyak disebabkan oleh permasalahan tata batas, kepemilikan tanah dan tata ruang dan perangkat hukum sehingga lahirlah rasa kecemasan terhadap program di kawasan pesisir. Kekhawatiran masyarakat pesisir tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Kekhawatiran terhadap wilayah pesisir yang berpotensi melahirkan kepemilikan baru terhadap tanah/lahan masyarakat.
2. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah yang akan membangun infrastruktur/fasilitas umum dengan cara melibatkan kepemilikan baru terhadap tanah/lahannya.
3. Kekhawatiran sistem kompensasi (ganti rugi) pembangunan infra struktur umum yang berpotensi melibatkan kepemilikan baru tanah/lahan masyarakat pesisir.
4. Kekhawatiran terhadap okupasi sepihak oleh pihak – pihak tertentu atas tanah/lahan masyarakat pesisir.
5. Ketidakjelasan penjaminan pemerintah atas hak milik atau ulayat tanah/lahan masyarakat pesisir.
6. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah membangun green belt (zona penyangga hijau) untuk menanggulagi bencana Tsunami, yang melibatkan tanah/lahan kepemilikan masyarakat pesisir.
7. Kekhawatiran adanya “pemaksaan” program yang melibatkan masyarakat pemilik tanah/lahan saja di masyarakat pesisir.
8. Ketakutan masyarakat bahwasanya program pengembangan kawasan pesisir hanya proyek dan pencapaian target dari instansi pemerintah, yang hanya akan memperkaya para pelaksana saja.
9. Kekhawatiran terhadap penanganan tanah/lahan kepemilikan yang di dominasi melalui konsultasi dengan “pihak-pihak tertentu” saja yang belum jelas mewakili aspirasi masyarakat yang mana dan tipologi kasus kepemilikan tanah/lahan masyarakat seperti apa?

PERLUNYA MENAJEMEN KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR DI SUMATERA BARAT.
Suatu pertanyaan klasik yang sering muncul adalah kenapa perlunya menajemen konflik dalam pengembangan kawasan pesisir di Sumatera Barat, jawabnya adalah agar program pengembangan kawasan pesisir tersebut berhasil di implementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran program. Selama ini perencanaan dan pelaksanaan program, cendrung mengabaikan terjadinya pertentangan dalam masyarakat, konflik dianggap “ceterus paribus” padahal dalam kenyataanya masyarakat cendrung mengalami konflik dalam struktur sosial. Oleh karenanya diperlukan keterampilan menajemen (planning, organizing, directing and controlling) untuk reduksi sejumlah konflik kepentingan dikawasan pesisir melalui program yang lebih berbasis “resolusi” kepada masyarakat sehingga tercapainya sasaran program. 

Dalam perspektif konflik, masyarakat mempunyai sisi ganda yakni memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Konflik tersebut dapat fungsional apabila pertentangan-pertentangan tersebut dilembagakan secara efektif, dimana manfaat positif konflik akan membantu memperkuat struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah daya rekat masyarakat.
Dari pemikiran Dahrendorf dan Coser, Menajemen konflik dapat dibangun atas asumsi dasar masyarakat dikawasan pesisir sebagai berikut:
1. Masyarakat pesisir, berpotensi untuk mengalami perubahan, proses perubahan sosial dapat terjadi dimana dan kapan saja.
2. Masyarakat pesisir selalu mengalami konflik sosial dan terjadinya perpecahan kapan dan dimana saja.
3. Setiap elemen dalam masyarakat pesisir menyumbang disintegrasi dan membawa perubahan.
4. Setiap masyarakat dikawasan pesisir dipaksa untuk tunduk yang didasarkan pada keberadaan orang yang berkuasa.
5. Konflik realistik dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, seperti aksi mogok kerja misalnya dilakukan karena ingin menuntut upah yang lebih baik. Sedangkan konflik non realistik berupa konflik pengambinghitaman.

Kembali diliriknya kawasan pesisir dan laut dalam pembangunan di Indonesia akan mengundang banyak kepentingan dalam pengembagan kawasan tersebut. Banyaknya kepentingan yang harus akomudir baik yang berasal dari masyarakat lokal, pemerintah daerah bahkan hubungan antar negara membuat pelaksanaan program pengembangan kawasan pesisir dan laut menjadi sumber konflik. Hal ini dikarenakan Indonesia sangat banyak sumber – sumber pemicu terjadinya konflik. Oleh karena itu sangat di perlukan menajemen konflik dalam pengembangan kawasan pesisir dan laut di Indonesia, namun menajemen tersebut hanya akan berjalan apabila analisis konflik mampu memberikan formulasi yang tepat. Untuk itu analisa konflik lebih mengakar pada lokal spesifik dan lokal solusi dan diperlukan pihak luar sebagai negositor atau mediasi konflik tersebut.


*Direktur Executiva Pioda, Sekjen Alumni Sosiologi Universitas Andalas dan Dosen Luar Biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas





Sumber : http://pioda.multiply.com/reviews/item/7

1 komentar:

 

Copyright © ORANG PESISIR INDONESIA Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger