Minggu, 17 Februari 2013

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

1 komentar
Pengelolaan sumberdaya alam yang  ada selama ini, semakin disadari tidak sesuai dengan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dimana, yang dimaksud berkelanjutan ini setidaknya mencakup empat hal pokok:
  1. upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem.
  2. upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan.
  3. upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang, dan
  4. upaya mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi.
Hakikat dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang didasarkan pada dua pertimbangan proporsional (seimbang) antara pertimbangan ekonomi dan ekologi. Betapapun pembangunan dilakukan namun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan tetap harus dilestarikan. Dalam ungkapan lain pembangunan bukanlah serangkaian upaya eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang diperuntukkan sebagai daya dukung kehidupan manusia. Melainkan adalah suatu upaya sinergis antara manusia dan alam untuk tetap saling memenuhi kebutuhan dalam suatu ekosistem.
Pada tataran filosofis, dalam khasanah Islam dikenal konsepsi ecospritual yang tertuang dalam“Hablum min Allah, Hablum min Annas” dan “Khalifatulla fil Ardh”. Keberadaan manusia dimuka bumi yang berkeyakinan dan berpedoman Al-Quran akan menjadikan manusia tersebut memiliki manfaat bagi alam dengan sebutan ‘Rahmatan lil Alamin” dan manusia diberi amanat oleh sang pencipta sebagai khalifatullah fil ardh, pemimpin dimuka bumi yang akan dimintai pertangungjawaban kelak. Manusia yang beriman akan dapat dilihat dari amalan yang dapat dirasakan manfaatnya pada sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.

Jika kita mampu renungkan lebih dalam lagi, Al-Quran dengan tegas menyatakan:“Tidak pernahkah mereka melanglang buana dan memperhatikan akibat dari pentingkah generasi tempo dulu, mereka yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan. Padahal para Rosul berdatangan pada mereka  dengan seperangkat konsep. Allah tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”(Q.30:9), di kutip dari Agama Ramah Lingkungan perspektif Al-Quran, Abdillah (2001).
Pada dimensi budaya, kalau disimak lebih dalam tradisi dan adat istiadat Budaya Melayu sebenarnya cukup tersedia dalam perspektif pelestarian lingkungan kelautan. Tata nilai tersebut tidak hanya pada tataran normatif tetapi juga pada tataran praksis. Pada tataran normatif terungkap sejumlah tunjuk ajar melayu yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan seperti:“tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat kehari tua, laut dijaga bumi dipelihara”. “ kalau hidup hendak selamat, pelihara laut beserta selat, pelihara tanah berhutan lebat, disitu terkandung rezeki dan rakhmat, disitu tamsil ibarat, disitu terkandung aneka nikmat, disitu terkandung beragam manfaat, disitu terkandung petuah adat”(Tunjuk Ajar Melayu, Tenas Effendy, 1994).
Dalam konteks sumberdaya pesisir, daerah pesisir merupakan daerah yang mempunyai produktivitas yang tinggi baik dari segi ekonomi maupun dari segi ekologi. Oleh karena itu banyak kepentingan-kepentingan yang menindih daerah tersebut. Daerah pesisir merupakan daerah yang sarat dengan konflik kepentingan. Adanya sumberdaya yang berlimpah menyebabkan banyak pihak mencoba mengambil keuntungan. Kebanyakan, kepentingan itu saling bertentangan sehingga yang menerima akibat adalah masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Isu-Isu Utama Pengelolaan Pesisir

Salah satu tahapan penting yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir adalah identifikasi isu-isu yang mengemuka dalam berbagai kegiatan pembangunan. lsu-isu utama yang dikemukakan disini adalah isu-isu kualitas lingkungan dan sumberdaya alam pesisir. lsu-isu ini dapat berdiri sendiri atau saling berkaitan dalam setiap bidang kegiatan pembangunan.

lsu-isu kualitas lingkungan dan sumberdaya alam pesisir dicirikan oleh adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu habitat/kawasan atau sumberdaya alam sebagai dampak berbagai kegiatan pembangunan, seperti pencemaran, sedimentasi, konversi atau degradasi sumberdaya.

1. Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan  pembukaan  lahan  atas  dan  pesisir  untuk  pertanian, pertambangan dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut.  Adanya penebangan hutan dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian, telah meningkatkan sampah-sampah pertanian baik sampah padat maupun cair  yang masuk ke perairan pesisir melalui aliran sungai.

Selain itu, sampah-sampah padat rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir yang sulit dikontrol,  sebagai akibat perkembangan pemukiman yang pesat. Sumber pencemaran utama lainnya berasal   dari   kegiatan   pertambangan,   misalnya   pertambangan   emas. Pertambangan emas rakyat yang menggunakan air raksa untuk mengikat bijih emas menjadi amalgam, dapat menimbulkan pencemaran air raksa melalui air pada saat pencucian/pengikatan amalgam. Pencemaran air raksa melalui air sangat berbahaya, karena limbah air raksa yang terbawa melalui aliran sungai ke perairan pesisir sangat potensial menimbulkan pencemaran logam berat melalui rantai makanan (bioakumulasi).

Proses  timbulnya  pencemaran  yang  sama  juga  terdapat  pada pertambangan emas yang dilakukan oleh perusahaan swasta, khususnya perusahaan swasta besar, meskipun jenis bahan pencemarnya berbeda. Pertambangan emas yang dilakukan oleh perusahaan swasta besar tidak menggunakan air raksa untuk mengikat emas, tapi menggunakan sianida. Limbah dari hasil tambang tersebut, berupa lumpur, tanah dan batuan, selain mengandung sianida juga mengandung timah, kadmium, nikel dan khrom. Limbah ini dibuang dalam jumlah besar, sehingga sangat potensial mencemari perairan pesisir, terlebih bahan sianida yang terkenal sebagai racun yang sangat berbahaya.

2.   Degradasi Garis Pantai
Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai wilayah pesisir. Selain proses-proses alami, seperti angin, arus, hujan dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai.

Kebanyakan erosi pantai akibat aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir untuk kepentingan pemukiman, dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai.  Di samping itu aktivitas penambangan terumbu karang di beberapa lokasi untuk kepentingan konstruksi jalan dan bangunan, tetah memberikan kontribusi penting terhadap erosi pantai, karena berkurangnya atau hilangnya perlindungan pantai dari hantaman getombang dan badai.

3. Degradasi Terumbu Karang
Isu utama lain tentang penurunan  kualitas lingkungan  hidup adalah degradasi terumbu karang. Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan sebagai sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati).

Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik dalam formasi berbentuk cekungan.

Isu lain terjadinya degradasi terumbu  karang adalah sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan konstruksi jalan atau bangunan. Selain itu, degradasi terumbu karang akibat eksploitasi intensif ikan-ikan hias berdampak pada semakin menurunnya keanekaragaman ikan karang bahkan punahnya jenis ikan tertentu. Hal ini tentu saja akan berakibat pada kualitas estetika terumbu karang sebagai obyek wisata selam.

Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya sebagai obyek wisata terlihat dari kerusakan-kerusakan fisik karang yang disebabkan oleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawa wisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan juga dapat diakibatkan oleh perilaku wisatawan, misalnya penginjakan terumbu karang oleh penyelam yang kurang berpengalaman maupun oleh penyelam yang memburu ikan. Selain itu limbah yang dibuang turis atau  limbah yang berasal dari aktivitas di daratan ikut menimbulkan kerusakan karang.

4.   Degradasi dan Konversi Hutan Mangrove
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, dan perkembangan pemukiman dan perkotaan ke arah pesisir, maka terlihat jelas adanya degradasi sumberdaya pesisir. Salah satu degradasi sumberdaya pesisir yang cukup menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan atau konversi hutan menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, industri, dan lain-lain.

Selain konversi, degradasi hutan mangrove juga terjadi sebagai akibat  pemanfaatannya yang intensif untuk arang, bahan konstruksi atau bahan baku kertas serta pemanfaatan langsung lainnya.

5. Keanekaragaman Hayati
Pada saat ini ancaman terhadap keanekaragaman hayati di perairan pesisir  diduga  antara  lain  berasal  dari  pembangunan  infrastruktur  (hotel, restoran, dan lain-lain) di pinggir pantai, dan juga reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di beberapa kawasan pesisir, diperkirakan dapat merubah struktur ekologi komunitas biota laut bahkan dapat menurunkan keanekaragaman hayati perairan.

Dalam skala yang lebih kecil, pembangunan hotel-hotel atau restoran-restoran di pinggir pantai dapat memberikan dampak yang sama, terutama bila berada di sekitar kawasan konservasi atau taman laut. Karena itu seharusnya pembangunan hotel-hotel yang saat ini berada di pinggir pantai tidak diperbolehkan, terlebih apabila daerah tersebut termasuk dalam kawasan penyangga atau sempadan pantai.

Prinsip Pengelolaan Pesisir Terpadu

1.  Pengertian Pengelolaan Sektoral dan Pengelolaan Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti  perikanan, pariwisata,  pertambangan,  indutri,  pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam pengelolaan secara sektoral, dampak "cross-sectoral" atau "cross-regional" seringkali terabaikan. Akibatnya, model pengelolaan sektoral akan menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain.  Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh dari pembangunan sektoral, dimana sektor industri mematikan sektor pariwisata apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara tepat dan benar.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dari sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.

Keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan witayah pesisir ini mencakup 4(empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan  wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder.

a.  Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara spasial dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut.

Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut.
 Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Dearah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.  Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan.

b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan  yang  bergerak dalam  pemanfaatan  sumberdaya  pesisir. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir antar satu sektor dengan sektor lainnya.

Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral.  Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor).

Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya.

c.   Keterpaduan Disiplin Ilmu
Wilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik yang unik dan spesifik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Dengan dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan  disiplin  ilmu  khusus  pula  seperti  hidro-oseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya.Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara  umum, keterpaduan disiplin ilmu  datam pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi.

d.   Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan atau pengelota pembangunan di kawasan pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memitiki  kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan pesisir. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan"bottom up".


2. Pentingnya Pendekatan Terpadu dalam Pengelolaan Pesisir
Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu, dan bukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1.    Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir

2.    Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.

3.    Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu  kelompok masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan preferensi (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sulit atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah preferensi bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.

4.    Secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan tunggal (single use) suatu kawasan pesisir urnumnya sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982 mengkonversi hampir sepanjang kawasan pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan lindung) menjadi tambak udang, sehingga pada saat akhir 1980-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus pada sebagian besar tambak udang di kawasan ini. Kemudian, pada tahun 1988 ketika Jepang menghentikan impor udang Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena kematian kaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makan udang), mengakibatkan penurunan harga udang secara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi Rp 7.000,- per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi.
5.    Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common propertyresources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan.  Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini.

3.  Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu seperti diuraikan di atas, merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Dengan  demikian,  pembangunan  berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya.  Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.

Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, dan (4) hukum dan kelembagaan.

1.    Dimensi Ekologis
Berangkat dari konsep ini, pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara  berkelanjutan  berarti  bagaimana  mengelola  segenap  kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk ekosistem pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumberdaya alam, dan (4) penerima limbah.

Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem atamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyenangkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa.


Ekosistem alamiah menyediakan sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman.

Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapatlah dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir.  Ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oteh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara.

Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayah pembangunan.

Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber  keanekaragaman  hayati. 

Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan, pernukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mosaik yang harmonis. Misalnya, penempatan kegiatan budidaya tambak udang pada lahan pesisir sangat masam, atau berdekatan dengan kawasan industri biasanya akan menemui kegagalan.

Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources)adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark, 1988); sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitamya.

Ketika kita memanfaatkan wilayah (ekosistem) pesisir sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas asimilasinya (assimilative capacity).  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, 1986).

2.    Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya
Dimensi ekologis seperti diuraikan di atas pada dasarnya menyajikan informasi tentang daya dukung sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia.  Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui daya dukung tersebut.

Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar/kualitas kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yang mendesak untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin.

Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan keseJahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.

Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan petedak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya.

3.    Dimensi Sosial Politik
Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah sipembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan frekuensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab di daerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.

Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya  laju  kerusakan  lingkungan  akan melangkah  lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
           
 4.    Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Bagi kelompok yang lebih mampu secara ekonomi hendaknya dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan  dasarnya,  sembari  mengurangi  budaya  konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten, serta diiringi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga masyarakat.  Di sinilah peran sentuhan nilai-nilai etika dan moral akan sangat berperan.

 Ihktisar
Sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam, agar lingkungan tetap lestari, harus diperhatikan tatanan/tata cara lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini manusialah yang paling tepat sebagai pengelolanya karena manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan organisme lain. Manusia mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan seperti yang dikehendakinya, seperti:

1.      Manusia mampu berpikir serta meramalkan keadaan yang akan datang.
2.      Manusia memiliki ilmu dan teknologi.
3.      Manusia memiliki akal dan budi sehingga dapat memilih hal-hal yang baik.

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.

Pengelolaan ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1.      Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.
2.      Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
3.      Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup.
4.      Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
5.      Melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Melalui penerapan pengelolaan lingkungan hidup akan terwujud kedinamisan dan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya. Untuk mencegah dan menghindari tindakan manusia yang bersifat kontradiksi dari hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui Peraturan dan Perundangan sesuai dengan tingkat hirarkinya.

Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang.

Agar sumberdaya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.
1.      Sumberdaya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, tetapi pengelolaan sumberdaya alam harus diusahakan agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2.      Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi sumber daya alam.
3.      Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4.      Di dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati perlu adanya pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a.     Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumberdaya untuk pembaruannya.
b.     Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin pertumbuhan sumberdaya alam hayati.
c.      Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya dengan daur ulang.
d.     Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses pembaruannya.

Sumber : http://ipmawatisusan.blogspot.com/2010/11/pengelolaan-sumberdaya-pesisir-dan-laut.html

Read more ►

Rabu, 06 Februari 2013

Sistem SAR

0 komentar
Sistem SAR di Indonesia diadopsi dari ketentuan yang berlaku bagi seluruh negara yang menjadi anggota IMO (International Maritime Organization) dan ICAO (International Civil Aeronautical Organization). Diagram di bawah ini menggambarkan Sistem SAR yang menjadi acuan kerja Basarnas.

Komponen SAR (SAR components)
Dalam penyelenggaraan operasi SAR, ada 5 komponen SAR yang merupakan bagian dari sistem SAR yang harus dibangun kemampuannya, agar pelayanan jasa SAR dapat dilakukan dengan baik. Komponen-komponen tersebut antara lain:
  • Organisasi (SAR Organization), merupakan struktur organisasi SAR, meliputi aspek pengerahan unsur, koordinasi, komando dan pengendalian, kewenangan, lingkup penugasan dan tanggung jawab penanganan musibah.
  • Komunikasi (Communication), sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi adanya musibah, fungsi komando dan pengendalian operasi dan koordinasi selama operasi SAR.
  • Fasilitas (SAR Facilities), adalah komponen unsur, peralatan/perlengkapan serta fasilitas pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam operasi/misi SAR.
  • Pertolongan Darurat (Emergency Cares), adalah penyediaan peralatan atau fasilitas perawatan darurat yang bersifat sementara ditempat kejadian, sampai ketempat penampungan atau tersedianya fasilitas yang memadai.
  • Dokumentasi (Documentation), berupa pendataan laporan, analisa serta data kemampuan operasi SAR guna kepentingan misi SAR yang akan datang.
Tingkatan Keadaan Darurat (Emergency Phases)
a.
Uncertainty Phase (Incerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya keraguan mengenai keselamatan jiwa seorang karena diketahui kemungkinan mereka dalam menghadapi kesulitan.
b.
Alert Phase (Alerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya kekhawatiran mengenai keselamatan jiwa seseorang karena adanya informasi yang jelas bahwa mereka menghadapi kesulitan yang serius yang mengarah pada kesengsaraan (distress).
c.
Distress Phase (Detresfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan bila bantuan yang cepat sudah dibutuhkan oleh seseorang yang tertimpa musibah karena telah terjadi ancaman serius atau keadaan darurat bahaya. Berarti, dalam suatu operasi SAR informasi musibah bias ditunjukkan tingkat keadaan darurat dan dapat langsung pada tingkat Detresfa yang banyak terjadi.
Tahap Penyelenggaraan Operasi SAR (SAR Stages)
1.
Tahap menyadari (awareness stage)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul (saat disadarinya terjadi keadaan darurat/musibah).
2.
Tahap tindak awal (initial action stage)
Adalah tahap seleksi informasi yang diterima, untuk segera dianalisa dan ditetapkan. Berdasarkan informasi tersebut, maka keadaan darurat saat itu diklasifikasikan sebagai:
3.
Tahap perencanaan (planning stage)
Yaitu saat dilakukan suatu tindakan sebagai tanggapan (respon) terhadap keadaan sebelumnya, antara lain:
• Search Planning Event (tahap perencanaan pencarian).
• Search Planning Sequence (urutan perencanaan pencarian).
• Degree of Searching Planning (tingkatan perencanaan pencarian).
• Search Planning Computating (perhitungan perencanaan pencarian).
4.
Tahap operasi (operation stage)
Detection Mode/Tracking Mode and Evacuation Mode, yaitu seperti dilakukan operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik. Tahap operasi meliputi: • Fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian.
• Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda-tanda yang ditemui yang diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode).
• Mengikuti jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
• Menolong/ menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode), dalam hal ini memberi perawatan gawat darurat pada korban yang membutuhkannya dan membaw korban yang cedera kepada perawatan yang memuaskan (evakuasi).
• Mengadakan briefing kepada SRU.
• Mengirim/ memberangkatkan fasilitas SAR.
• Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian.
• Melakukan penggantian/ penjadualan SRU di lokasi kejadian.
5.
Tahap pengakhiran (conclusion stage)
Merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi penarikan kembali SRU dari lapangan ke posko, penyiagaan kembali tim SAR untuk menghadapi musibah selanjutnya yang sewaktu-waktu dapat terjadi, evaluasi hasil kegiatan, mengadaan pemberitaan (Press Release) dan menyerahkan jenasah korban/ survivor kepada yang berhak serta mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan pada kelompok masyarakat.
( Sumber : Website basarnas versi 1, www.basarnas.go.id )
Read more ►
 

Copyright © ORANG PESISIR INDONESIA Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger