Pengelolaan sumberdaya alam
yang ada selama ini, semakin disadari tidak sesuai dengan nilai-nilai
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dimana, yang dimaksud berkelanjutan ini setidaknya mencakup empat hal
pokok:
- upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem.
- upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan.
- upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang, dan
- upaya mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi.
Hakikat dari pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang didasarkan pada dua pertimbangan
proporsional (seimbang) antara pertimbangan ekonomi dan ekologi. Betapapun
pembangunan dilakukan namun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan tetap
harus dilestarikan. Dalam ungkapan lain pembangunan bukanlah serangkaian upaya
eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang diperuntukkan sebagai
daya dukung kehidupan manusia. Melainkan adalah suatu upaya sinergis antara
manusia dan alam untuk tetap saling memenuhi kebutuhan dalam suatu ekosistem.
Pada tataran filosofis, dalam
khasanah Islam dikenal konsepsi ecospritual yang tertuang dalam“Hablum
min Allah, Hablum min Annas” dan “Khalifatulla fil
Ardh”. Keberadaan
manusia dimuka bumi yang berkeyakinan dan berpedoman Al-Quran akan menjadikan
manusia tersebut memiliki manfaat bagi alam dengan sebutan ‘Rahmatan lil
Alamin” dan manusia diberi amanat oleh sang pencipta sebagai khalifatullah fil
ardh, pemimpin dimuka
bumi yang akan dimintai pertangungjawaban kelak. Manusia yang beriman akan
dapat dilihat dari amalan yang dapat dirasakan manfaatnya pada sesama manusia
dan makhluk hidup lainnya.
Jika kita mampu renungkan lebih
dalam lagi, Al-Quran dengan
tegas menyatakan:“Tidak
pernahkah mereka melanglang buana dan memperhatikan akibat dari pentingkah
generasi tempo dulu, mereka yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan
secara berlebihan. Padahal para Rosul berdatangan pada mereka dengan
seperangkat konsep. Allah tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri”(Q.30:9), di kutip dari Agama Ramah
Lingkungan perspektif Al-Quran, Abdillah (2001).
Pada dimensi budaya, kalau disimak lebih dalam tradisi dan adat istiadat
Budaya Melayu sebenarnya cukup tersedia dalam perspektif pelestarian lingkungan
kelautan. Tata nilai tersebut tidak hanya pada tataran normatif tetapi juga
pada tataran praksis. Pada tataran normatif terungkap sejumlah tunjuk ajar
melayu yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan seperti: “tanda orang
berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat kehari tua, laut dijaga
bumi dipelihara”. “ kalau hidup hendak selamat, pelihara laut beserta selat,
pelihara tanah berhutan lebat, disitu terkandung rezeki dan rakhmat, disitu
tamsil ibarat, disitu terkandung aneka nikmat, disitu terkandung beragam
manfaat, disitu terkandung petuah adat”(Tunjuk
Ajar Melayu, Tenas Effendy, 1994).
Dalam konteks
sumberdaya pesisir, daerah pesisir
merupakan daerah yang mempunyai produktivitas yang tinggi baik dari segi
ekonomi maupun dari segi ekologi. Oleh karena itu banyak
kepentingan-kepentingan yang menindih daerah tersebut. Daerah pesisir merupakan
daerah yang sarat dengan konflik kepentingan. Adanya sumberdaya yang berlimpah
menyebabkan banyak pihak mencoba mengambil keuntungan. Kebanyakan, kepentingan
itu saling bertentangan sehingga yang menerima akibat adalah masyarakat yang
hidup di sekitarnya.
Isu-Isu Utama Pengelolaan Pesisir
Salah satu tahapan penting yang diperlukan dalam
penyusunan rencana pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir adalah
identifikasi isu-isu yang mengemuka dalam berbagai kegiatan pembangunan.
lsu-isu utama yang dikemukakan disini adalah isu-isu kualitas lingkungan dan
sumberdaya alam pesisir. lsu-isu ini dapat berdiri sendiri atau saling
berkaitan dalam setiap bidang kegiatan pembangunan.
lsu-isu kualitas lingkungan dan sumberdaya alam
pesisir dicirikan oleh adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu
habitat/kawasan atau sumberdaya alam sebagai dampak berbagai kegiatan
pembangunan, seperti pencemaran, sedimentasi, konversi atau degradasi
sumberdaya.
1. Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan pembukaan lahan atas
dan pesisir untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan
kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan
laut. Adanya penebangan hutan dan penambangan di Daerah Aliran Sungai
(DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan
perairan pesisir. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian,
telah meningkatkan sampah-sampah pertanian baik sampah padat maupun cair
yang masuk ke perairan pesisir melalui aliran sungai.
Selain itu, sampah-sampah padat rumah tangga dan kota
merupakan sumber pencemar perairan pesisir yang sulit dikontrol, sebagai
akibat perkembangan pemukiman yang pesat. Sumber pencemaran utama lainnya
berasal dari kegiatan
pertambangan, misalnya pertambangan emas.
Pertambangan emas rakyat yang menggunakan air raksa untuk mengikat bijih emas
menjadi amalgam, dapat menimbulkan pencemaran air raksa melalui air pada saat
pencucian/pengikatan amalgam. Pencemaran air raksa melalui air sangat berbahaya,
karena limbah air raksa yang terbawa melalui aliran sungai ke perairan pesisir
sangat potensial menimbulkan pencemaran logam berat melalui rantai makanan
(bioakumulasi).
Proses timbulnya
pencemaran yang sama juga terdapat pada pertambangan
emas yang dilakukan oleh perusahaan swasta, khususnya perusahaan swasta besar,
meskipun jenis bahan pencemarnya berbeda. Pertambangan emas yang dilakukan oleh
perusahaan swasta besar tidak menggunakan air raksa untuk mengikat emas, tapi
menggunakan sianida. Limbah dari hasil tambang tersebut, berupa lumpur, tanah
dan batuan, selain mengandung sianida juga mengandung timah, kadmium, nikel dan
khrom. Limbah ini dibuang dalam jumlah besar, sehingga sangat potensial
mencemari perairan pesisir, terlebih bahan sianida yang terkenal sebagai racun
yang sangat berbahaya.
2. Degradasi Garis Pantai
Erosi pantai merupakan salah satu
masalah serius degradasi garis pantai wilayah pesisir. Selain proses-proses
alami, seperti angin, arus, hujan dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi
penyebab penting erosi pantai.
Kebanyakan erosi pantai akibat
aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir untuk kepentingan pemukiman,
dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan
terhadap pantai. Di samping itu aktivitas penambangan terumbu karang di
beberapa lokasi untuk kepentingan konstruksi jalan dan bangunan, tetah
memberikan kontribusi penting terhadap erosi pantai, karena berkurangnya atau
hilangnya perlindungan pantai dari hantaman getombang dan badai.
3. Degradasi Terumbu Karang
Isu utama lain tentang
penurunan kualitas lingkungan hidup adalah degradasi terumbu
karang. Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai
aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan sebagai sumber pangan (ikan-ikan
karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komoditas perdagangan (ikan
hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati).
Degradasi terumbu karang akibat
pemanfaatannya sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar
dikarenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan
ini dapat dijumpai di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang
rusak secara fisik dalam formasi berbentuk cekungan.
Isu lain terjadinya degradasi
terumbu karang adalah sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian
karang untuk kepentingan konstruksi jalan atau bangunan. Selain itu, degradasi
terumbu karang akibat eksploitasi intensif ikan-ikan hias berdampak pada
semakin menurunnya keanekaragaman ikan karang bahkan punahnya jenis ikan
tertentu. Hal ini tentu saja akan berakibat pada kualitas estetika terumbu
karang sebagai obyek wisata selam.
Degradasi terumbu karang akibat
pemanfaatannya sebagai obyek wisata terlihat dari kerusakan-kerusakan fisik
karang yang disebabkan oleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawa
wisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan juga dapat diakibatkan oleh
perilaku wisatawan, misalnya penginjakan terumbu karang oleh penyelam yang
kurang berpengalaman maupun oleh penyelam yang memburu ikan. Selain itu limbah
yang dibuang turis atau limbah yang berasal dari aktivitas di daratan
ikut menimbulkan kerusakan karang.
4. Degradasi dan Konversi Hutan Mangrove
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, dan
perkembangan pemukiman dan perkotaan ke arah pesisir, maka terlihat jelas
adanya degradasi sumberdaya pesisir. Salah satu degradasi sumberdaya pesisir
yang cukup menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan
lahan atau konversi hutan menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, industri, dan
lain-lain.
Selain konversi, degradasi hutan mangrove juga terjadi
sebagai akibat pemanfaatannya yang intensif untuk arang, bahan konstruksi
atau bahan baku kertas serta pemanfaatan langsung lainnya.
5. Keanekaragaman Hayati
Pada saat ini ancaman terhadap keanekaragaman hayati
di perairan pesisir diduga antara lain berasal
dari pembangunan infrastruktur (hotel, restoran, dan
lain-lain) di pinggir pantai, dan juga reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi
pantai sebagaimana terjadi di beberapa kawasan pesisir, diperkirakan dapat
merubah struktur ekologi komunitas biota laut bahkan dapat menurunkan
keanekaragaman hayati perairan.
Dalam skala yang lebih kecil, pembangunan hotel-hotel
atau restoran-restoran di pinggir pantai dapat memberikan dampak yang sama,
terutama bila berada di sekitar kawasan konservasi atau taman laut. Karena itu
seharusnya pembangunan hotel-hotel yang saat ini berada di pinggir pantai tidak
diperbolehkan, terlebih apabila daerah tersebut termasuk dalam kawasan
penyangga atau sempadan pantai.
Prinsip Pengelolaan Pesisir Terpadu
1. Pengertian Pengelolaan Sektoral dan Pengelolaan Terpadu
Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada
dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk
memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, pariwisata,
pertambangan, indutri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam
pengelolaan secara sektoral, dampak "cross-sectoral" atau
"cross-regional" seringkali terabaikan. Akibatnya, model pengelolaan
sektoral akan menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan dan
juga akan mematikan sektor lain. Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan
salah satu contoh dari pembangunan sektoral, dimana sektor industri mematikan
sektor pariwisata apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak
dilakukan secara tepat dan benar.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki
pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir
dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan
tujuan dari sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan
pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis
dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat
pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik
kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan witayah
pesisir ini mencakup 4(empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan
wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan
(4) keterpaduan stakeholder.
a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara spasial dan ekologis
wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan lautan.
Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara
daratan dan lautan. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan
kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di
kedua kawasan tersebut.
Berbagai dampak lingkungan yang
terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian,
perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Demikian pula dengan
kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas
pantai dan perhubungan laut.
Penanggulangan pencemaran
yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, serta
sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harus
dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah
ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Dearah Aliran
Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.
Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak diimbangi
dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di
wilayah pesisir harus selalu diperhatikan.
b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar
dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir adalah banyaknya instansi
atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Akibatnya, sering kali terjadi
tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir antar satu sektor dengan sektor
lainnya.
Agar pengelolaan sumberdaya alam
di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka
dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan
sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi
sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini meliputi
keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal
(dalam satu sektor).
Oleh karena itu, penyusunan tata
ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk
menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya.
c. Keterpaduan Disiplin Ilmu
Wilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik yang
unik dan spesifik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat
dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Dengan dinamika perairan
pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus
pula seperti hidro-oseanografi, dinamika oseanografi dan
sebagainya.Selain itu,
kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum,
keterpaduan disiplin ilmu datam pengelolaan ekosistem dan sumberdaya
pesisir adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi.
d. Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan
apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan atau pengelota pembangunan
di kawasan pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola
sumberdaya alam pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah),
masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang masing-masing memitiki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya
alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu
mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan pesisir. Oleh karena itu,
perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah,
yaitu pendekatan "top down" dan
pendekatan"bottom up".
2. Pentingnya Pendekatan Terpadu dalam Pengelolaan Pesisir
Keunikan wilayah pesisir serta
beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah
tersebut secara terpadu, dan bukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan
sebagai berikut :
1. Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis
(hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun
antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian
perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat
atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya, jika
pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan
lain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan
secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak
tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir
2. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih
dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan
untuk kepentingan pembangunan.
3. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat
lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki
ketrampilan/keahlian dan preferensi (preference) bekerja yang
berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping
pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal,
sangat sulit atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah preferensi bekerja
(profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bidang
pekerjaan.
4. Secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan tunggal (single
use) suatu kawasan pesisir urnumnya sangat rentan terhadap perubahan
internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya,
pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982
mengkonversi hampir sepanjang kawasan pesisir termasuk mangrove (sebagai
kawasan lindung) menjadi tambak udang, sehingga pada saat akhir 1980-an sampai
sekarang terjadi peledakan wabah virus pada sebagian besar tambak udang di kawasan
ini. Kemudian, pada tahun 1988 ketika Jepang menghentikan impor udang Indonesia
selama sekitar 3 bulan, karena kematian kaisarnya (rakyat Jepang berkabung,
tidak makan udang), mengakibatkan penurunan harga udang secara drastis dari
rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi Rp 7.000,- per kg, sehingga banyak petani
tambak yang merugi dan frustasi.
5. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya
milik bersama (common propertyresources) yang
dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap
pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan.
Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan
konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini.
3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
seperti diuraikan di atas, merupakan salah satu syarat untuk mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau
menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(WCED, 1987).
Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan
semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem
alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini
tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas
yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi
dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir
untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan
berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian
rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan
umat manusia tidak rusak.
Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan
memiliki empat dimensi: (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial
politik, dan (4) hukum dan kelembagaan.
1. Dimensi Ekologis
Berangkat dari konsep ini, pemanfaatan sumberdaya
wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana
mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu
wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak
melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk ekosistem
pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) jasa-jasa
pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumberdaya alam,
dan (4) penerima limbah.
Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup
berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara
dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia.
Jasa-jasa kenyamanan (amenity services) yang
disediakan oleh ekosistem atamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya
yang indah dan menyenangkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta
pemulihan kedamaian jiwa.
Ekosistem alamiah menyediakan
sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam
proses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah
kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu
kondisi yang aman.
Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut,
dapatlah dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung
pada dua fungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua
fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oteh kegiatan
manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa
kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara.
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, maka
secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya
pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas
asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial
suitability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayah pembangunan.
Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu
wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang
kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara
alamiah, dan sumber keanekaragaman hayati.
Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri,
pertanian, budidaya perikanan, pernukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan
hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga
membentuk suatu mosaik yang harmonis. Misalnya, penempatan kegiatan budidaya tambak
udang pada lahan pesisir sangat masam, atau berdekatan dengan kawasan industri
biasanya akan menemui kegagalan.
Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir
sebagai penyedia sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya
yang dapat pulih (renewable resources)adalah bahwa laju
ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu
periode tertentu (Clark, 1988); sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang
tak dapat pulih (non-renewable resources) harus
dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitamya.
Ketika kita memanfaatkan wilayah
(ekosistem) pesisir sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada
jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir
untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya
kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom,
1986).
2. Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya
Dimensi ekologis seperti
diuraikan di atas pada dasarnya menyajikan informasi tentang daya dukung sistem
alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan
manusia. Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dapat
berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga total permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui daya dukung tersebut.
Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan
oleh jumlah penduduk dan standar/kualitas kehidupannya. Oleh karena itu, selain
mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yang mendesak untuk dilakukan adalah
mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin.
Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari
kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan keseJahteraan penduduk sekitar kegiatan
(proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip
ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya
penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan petedak, berakar pada kemiskinan dan
tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya.
3. Dimensi Sosial Politik
Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan
bersifat eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut
bukanlah sipembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat
miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta
peningkatan frekuensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat
penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab di daerah hulu. Demikian juga
dampak pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.
Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan
tersebut, maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem
dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik
semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah
lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4. Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga masyarakat untuk tidak merusak
lingkungan. Bagi kelompok yang lebih mampu secara ekonomi hendaknya dapat
berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya, sembari mengurangi budaya
konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui
penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten,
serta diiringi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap
warga masyarakat. Di sinilah peran sentuhan nilai-nilai etika dan moral
akan sangat berperan.
Ihktisar
Sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam, agar
lingkungan tetap lestari, harus diperhatikan tatanan/tata cara lingkungan itu
sendiri. Dalam hal ini manusialah yang paling tepat sebagai pengelolanya karena
manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan organisme lain. Manusia
mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan seperti yang
dikehendakinya, seperti:
1. Manusia mampu berpikir serta meramalkan
keadaan yang akan datang.
2. Manusia memiliki ilmu dan teknologi.
3. Manusia memiliki akal dan budi sehingga dapat memilih hal-hal yang baik.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan,
dan pengembangan lingkungan hidup.
Pengelolaan ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mencapai kelestarian hubungan manusia
dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.
sebagai tujuan membangun manusia seutuhnya.
2. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya
secara bijaksana.
3. Mewujudkan manusia sebagai pembina
lingkungan hidup.
4. Melaksanakan pembangunan berwawasan
lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
5. Melindungi negara terhadap dampak kegiatan
di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Melalui penerapan pengelolaan lingkungan hidup akan
terwujud kedinamisan dan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya. Untuk
mencegah dan menghindari tindakan manusia yang bersifat kontradiksi dari
hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui
Peraturan dan Perundangan sesuai dengan tingkat hirarkinya.
Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan
undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya
kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan
kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini
merupakan titipan dari generasi yang akan datang.
Agar sumberdaya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang
panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.
1. Sumberdaya
alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, tetapi pengelolaan
sumberdaya alam harus diusahakan agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya
harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi sumber daya alam.
3. Diperlukan
kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada agar dapat lestari dan
berkelanjutan dengan menanamkan pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di
dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati perlu adanya pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut :
a. Teknologi
yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumberdaya untuk pembaruannya.
b. Sebagian
hasil panen harus digunakan untuk menjamin pertumbuhan sumberdaya alam hayati.
c. Dampak
negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya dengan daur ulang.
d. Pengelolaannya
harus secara serentak disertai proses pembaruannya.
Sumber : http://ipmawatisusan.blogspot.com/2010/11/pengelolaan-sumberdaya-pesisir-dan-laut.html